Selasa, 23 Juni 2009

Antri....Antri....

Suatu sore aq bli bbrapa makanan kecil di salah satu ritel yg menjamur di berbagai kota. Setelah dapat yang dibutuhkan, aq pun ngantri buat bayar. Bayar aja ngantri yak? jadi inget jaman awal2 kuliah dulu. Bayar SPP ngantrinya bisa jam-jaman. Tempat bayarnya di lantai 2, dan antriannya sampai lobi kampus. Bener2 deh. Alhamdulillah skg uda g lagi. Gitu dong, teknologi dimanfaatin….

Ok, kembali ke jalan yang benar. Ketika uda masuk antrian, ada ibu-ibu berdiri di sebelah kiri kasir (kami mengantri di sebelah kanan). Dalam hati aq ngedumel,” ah pasti seperti yang uda2, ibu ini akan nyerobot antrian.”. aq pun bertekad untuk g mau ngalah klo antrian q di serobot. Huh!

Begitu tinggal aq dan si ibu, entah mengapa aq g melakukan seperti yg q inginkan. Mungkin karna ingat ajaran utk mendahulukan org yg lebih tua. Lagian aq g lagi buru2. Dengan senyum dan sopan, aq mempersilahkan si ibu untuk duluan membayar. Dan yg g aq sangka, si ibu juga tersenyum dan menolak. Bliau mempersilahkan aq untuk duluan membayar. Astaghfirullah,,,,, malu rasanya uda berburuk sangka sama ibu2 itu. Kami saling bertukar kalimat “monggo, bayar duluan saja….”. Akhirnya aq mbayar duluan. Itu juga setelah si ibu beranjak ke arahq, mendorong bahu q dengan lembut dan bilang “ yg antri duluan silahkan bayar duluan.”

Sepanjang perjalanan pulang aq terus memikirkan kejadian tadi. Langka banget soalnya, ada orang tau diri ttg antrian gitu. Yang ada orang dengan tampang tak bersalah nyerobot antrian dan kadang marah ketika di tegur. Mungkin bagi sebagian orang, ini masalah sepele. Tapi buat aq, dari hal yg sepele, sebuah masalah bisa berkembang menjadi besar dan tak terkendali.

Hmmm, intropeksi lagi nih……

Sabtu, 20 Juni 2009

Cahaya dalam Gelap

13/6/09-18:30
Ini bukan kali pertama aq naek kereta malam2. tapi entah kenapa, kali ini terasa ada beda waktu aq melihat ke luar jendela. Layaknya malam tanpa bintang dan bulan, gelap. Hanya sesekali tampak seberkas cahaya yang memancar dari lampu neon di rumah penduduk.

Aq berpikir tentang gelap. Dan tanpa di perintah, ingatan q kembali dimalam aq melewati Saradan dengan motor, sendirian. Dan g ada pengendara lain selain aq. Waktu itu bener2 gelap, bahkan dengan adanya cahaya dari lampu motor. Kegelapan yg paling gelap yang pernah aq temui seumur hidup. Aq Cuma liat depan, ga berani noleh kiri kanan, apalagi liat spion. Takut ngeliat apa yg g mau q liat. Ehmm, maksudnya bukan wajah q sendiri lo ya, hehehehe. Aq jadi sangat2 menghargai satu2nya cahaya dari motor q. terus menerus berdoa semoga lampu motor ini tak padam tanpa sebab, dan semoga aq segera menemukan cahaya dari rumah penduduk.

Suatu saat sebuah bis patas lewat, melaju dengan kecepatan kira2 100km/jam. Huah, cahayanya bener2 terang dan membuat cahaya lampu motor q jadi ga berarti. Aq yang setengah ketakutan g rela kehilangan cahaya super terang, lantas memutuskan mengejar bis itu. Aq gas pool motor merah kesayanganq. Sayang Cuma bisa jalan 90, lagian aq g berani jalan gila2an di tengah gelap yg bahkan belokan jalan pun ga kelihatan dari jarak 200 meter.

Bisnya terus melaju di depanq, membawa serta cahayanya yg super terang. Aq sendiri lagi, mengurangi drastis kecepatan motor jadi 55km/jam. Kembali bersyukur dengan cahaya motorq yg g seberapa.

Begitulah, aq jadi mengerti maksud orang bilang “kita hanya bisa menghargai cahaya ketika dalam kegelapan”. Tapi di kereta ini, aq pahami 1 hal: aq g mau hanya menghargai cahaya dalam gelap, aq juga akan menghargai semua cahaya yang ada dalam terang. Karna sederhana saja, tanpa cahaya2 itu keadaan akan menjadi gelap lagi.

Bukan malu, tapi kebiasaan!

Bicara tentang akhlak mulia, buang sampah pada tempatnya juga termasuk akhlak mulia lo. Kan ada hubungannya sama kebersihan yang katanya merupakan sebagian dari iman.

Nah khusus di kereta, g pernah sekalipun aq liat ada orang yg masukin sampahnya ke tas utk dibuang nanti setelah nemu tempat sampah. Klo g digeletakin gitu aja di lantai, ya di buang lewat jendela. Mereka mengandalkan orang lain yang bertugas membuang sampah mereka, padahal brapalah orang yang jadi petugas kebersihan? Sangat tidak seimbang dengan sampah yang diproduksi tiap harinya.

Jadi kenapa kita tidak turut serta membantu, yang mana g merepotkan kita sama sekali. Toh demi kebaikan kita juga. Lagipula, sementara adik2, anak2 kita disekolah diajarkan utk buang sampah pada tempatnya plus ditakut-takuti apa akibatnya klo buang sampah sembarangan, kita dirumah malah mencontohkan kebalikannya. Wlo itu dilakukan tanpa sadar karena uda jadi kebiasaan.

Selain sampah yang itu, sampah yang ini juga wajib jadi perhatian karna menjijikkan: ngeludah dan buang ingus sembarangan. Yakh,,,, pas jalan kaki atau naik motor ada aja org yg nglakuin itu, hhiiiiiih. Mana g liat2 belakang dulu. Ntar klo kena org lain gimana??? Padahal dari TK juga diajarin bahwa ngludah dan buang ingus sembarang berpotensi sangat besar untuk menyebarkan kuman penyakit.

Sadarkah bahwa semua itu bukan lagi masalah memalukan atau tidak memalukan, tapi uda jadi kebiasaan mendarah daging yg klo g dirubah dari sekarang akan diwarisi ke anak cucu kita. Coba bayangkan akibatnya, g usa jauh2, 5 tahun ke depan aja. Apa kita mw hidup di kota yang penuh sampah?

Satu lagi yg jadi perhatianq. Eh gaya ne rek ,”…yg jadi perhatianq”. Ehm itu, tentang ‘nylonong boy’. Manusia berkendara yg seenaknya jalan ketika lampu masi merah, berhenti tepat di zebra cross padahal itu jatahnya pejalan kaki dan seenaknya memutar jalan atau lewat jalan pintas padahal itu di larang dan membahayakan pengguna jalan yg lain. Dapat kecelakaan baru nyaho’ deh.

Disini bukankah sebenarnya ‘nylonong boy’ uda mengambil hak2 orang lain? Tepatnya para pengguna jalan. Jika kita masih termasuk ‘nylonong boy’, berhentilah mencela koruptor2 karna apa bedanya kita dengan mereka. Lah wong sama2 mengambil hak orang lain.

Dan lagi orang di sekitar kita melihat, lalu yg pendek akal berfikir ,” lah org itu fine2 aja buang sampah/ ngludah sembarangan, berkendara sembarangan. Brarti kita juga boleh dong,,,”. Nah, lo….. betapa kacaunya. Betapa kacaunya.

Jadi, marilah kita ikuti saran Aa Gym utk merubah kebiasaan buruk.
Mulai dari yang kecil
Mulai dari diri sendiri
Dan Mulailah dari sekarang!

Ekonomi vs Bisnis

Keluarga q selalu keheranan tiap aq pergi kemana, hamper selalu naek kereta ekonomi yang mana rawan copet dan desak-desakan dengan probabilitas berdiri sepanjang perjalanan sangat besar. Sponsor q, bapak maksudnya, heheeh, malah bilang, “ naek travel atau kereta bisnis aja, bapak masi sanggup biayain kq.”

Otak mahasiswaq yg selalu berpikir utk ngirit n mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya memang menjadi alasan, tapi bukan satu-satunya. Alsan lainnya adalah, aq bisa ngliat pemandangan menakjubkan di kreta ekonomi. Pemandangan yg g akan pernah tersaji di kreta bisnis, apalagi eksekutif.

Seperti yang umum di ketahui, di kereta ekonomi pedagang asongan hilir mudik tanpa henti. Disitulah aq bisa melihat kehidupan. Tentang upaya, kerja keras dan harapan. Dari para penumpang yang sering melebihi kapasitas, aq bisa mengambil pelajaran moral. Aq sadar aq bukan siapa2 hingga pantas menetapkan orang itu baik atau buruk. Namun setidaknya aq masi boleh menilai mana yang salah mana yang benar.

Yang paling suka aq perhatikan adalah ttg sifat dasar manusia yg suka mementingkan diri sendiri. Ada banyak wajah2 sehat dan bahagia tengah duduk sementara di sebelahnya tengah berdiri ibu-ibu, kakek atau nenek2 bahkan anak-anak yg kerepotan dengan bawaannya. Beberapa mempersilahkan berbagi tempat duduk yg uda sangat sempit. Beberapa cuek saja, bahkan mendelik marah ketika ada yang mencoba meminta jatah tempat duduknya sedikit.

Seringkali terjadi perubahan persepsi disini. Ada pria berpenampilan sangat preman dan merokok, dengan sopan mempersilahkan tempat duduknya utk di pakai sementara dia sendiri lalu berdiri. Ada pria berpenampilan alim dengan jenggot dan sedikit bekas sujud di keningnya, adem2 saja di tempat duduknya. Ada desiran kecewa menyapa hati ini ketika melihat itu.

Salahkah jika berharap ada pertunjukan akhlak mulia dari manusia yg terlihat baik2? Hm, sebenarnya itu menyentil aq juga,,,,,,,

Begitulah, kereta ekonomi terlihat hidup di mata q. teriakan2 pedagang asongan, tangisan anak kecil, berbagai mimik wajah dan bermacam bau. Banyak yang mendapat kenalan baru di sana-sini. Juga masih ada yang mau menawarkan makanan atau minuman pada org2 disekitarnya. Entah itu basa-basi ataupun sungguhan, tetap terlihat indah di mata q.

Sementara di kreta bisnis? Singggg,,, Penumpang disebelahq tidur. Penumpang di sisi kereta yg lain tengah memainkan hape dan satunya membaca koran. Ada tangis anak kecil terdengar samar2 dari gerbong depan. Selebihnya? Aq hanya makan kue bekal sambil melihat jendela. Merasa sendirian.

Mungkin kalo lagi patah hati cocok naek kreta ini. Bisa memandang keluar jendela dengan tenang sambil menyanyi lirih Adeliade sky : “…………would you be kind enough to remember?…”.
Halah, pilem banget, y ga lah. heheheh

Dari semuanya, yang paling penting adalah aq bisa belajar lebih bersyukur atas semua yg Allah titipkan ke aq.

Sabtu, 30 Mei 2009

“Tolong pak, jangan bawa ban saya,,”

Sarapan q hari ini di temani berita pagi di salah satu stasiun televisi. Masi tema yang biasa: perampokan, pembunuhan, tabrakan, bencana alam, sesekali ada bayi yang dibuang dan yang cukup sering tentang penggusuran oleh satpol PP (PP? bukan Pulang-Pergi kan?)

Terlalu sering direcoki berita macam itu harus hati-hati. Bisa membuat terbiasa dan hati menjadi kebas. Jangan sampe ketika mendengar berita pembunuhan, kita dengan entengnya bilang,” oh ya? Emang sapa lagi yang dibunuh?”. Tanpa simpati dan belasungkawa. Sungguh suatu bencana.

Suapan q terhenti ketika mendengar suara yang menghiba “Tolong pak, jangan bawa ban saya,,,”. Suaranya bener-bener menghiba, dan terluka.

Sekarang 100% konsentrasi q ke TV. Suara itu berasal dari seorang bapak tua penambal ban. Kalimatnya berkali-kali di ulang, dan
Ya ALLAH……
Bapak itu mencoba menahan ban-bannya dengan seluruh berat badannya sementara 2 satpol pp mengangkat, ah menyeret lebih tepatnya, sang bapak sekaligusnya bannya tanpa perasaan. 2 satpol pp yang lain mencoba melepaskan si bapak dengan paksa.

Bliau menghiba, meratap, merintih ,” nanti saya nyari uangnya gimana pak? Nanti keluarga saya makan apa? “. Airmatanya sudah tak terbendung, bgitu juga air mata q. berkali-kali aq istighfar. Tak habis pikir kenapa satpol pp tak tersentuh hatinya melihat si bapak. Tak terbayangkah seandainya si bapak itu orang tuanya.

Si bapak tua masi berusaha mengambil bannya yang sudah ada di atas mobil satpol pp. namun perlawanannya melemah, tenaganya tersedot oleh kesedihan dan kemarahan. Bliau lalu berlutut putus asa, dan berita lainnya muncul.

Aq tak lagi tertarik memandang berita TV. Sarapan berhasil ludes hanya karna rasa wajib : g boleh menyia-nyiakan makanan. Hari ini, aq yakin akan banyak orang yang lebih mensyukuri hidupnya setelah melihat berita itu.

Jika Hari ini Turun Hujan

Pagi itu di Pekanbaru turun hujan, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari yang panas dan berkabut (berkat jasa hutan di Dumai yang terbakar). Aq dan bapak q memandang rintikan air itu dari teras rumah. Home sweet home. Hm, jadi kangen….

Tiba-tiba bapak tanya,”klo hujan gini siapa yang sedih, Lin?”.

Aq langsung mengkerutkan kening. Hujan biasa yang ditunggu-tunggu kaya gini, emang ada yang jadi sedih? Klo hujannya deras banget plus berpetir, atau hujan terus-menerus selama beberapa hari itu baru ada yang sedih. Ya kan bisa jadi banjir, tanah longsor, sulit pergi ke sekolah atau ngantor dll.

Belum dapat jawabannya, bapak uda nanya lagi ,” Klo hujan gini enaknya ngapain, Lin?”

“Tidur..!” aq menjawab sambil cengengesan. Heheh Sapa coba yang g pengen tidur hujan-hujan gini.

Tapi ekspresi bapak masi datar walau ada sesungging senyum di bibirnya.
“ Betul. Hujan-hujan gini enaknya emang tidur. Dan pasti banyak kan orang yang berpikiran kaya gitu?” kata bapak.

Aq mengangguk cepat-cepat. Ga sabar mnunggu klanjutan omongan bapak.

“Orang lebih memilih tidur dan jadi malas kemana-mana. Dan karna jaman uda canggih, orang tinggal telpon aja pesen makanan. Atau nahan laper sampe hujan reda lalu bli makanan jadi di deket rumah. Yang tadinya berencana masak dan blanja ke pasar, malah ga jadi. Atau jadi blanja tapi ga kepasar tradisional tapi ke supermarket. Trus sapa yang beli dagangan mereka di pasar? Dan lagi karena hujan, dagangan mereka jadi lebih cepat busuk. Mereka g tau caranya membuat sayur-sayur bertahan lebih lama. Jadi yang bisa mereka lakukan adalah menjual kembali dagangannya yang uda g bagus dengan harapan besar akan ada yang membeli. Menurut kamu berapa banyak orang yang akan membeli itu?” kata bapak panjang lebar.

“Sedikit,,,,,” jawab q lemah. Aq uda mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Aq jadi merasa, entahlah… Sedih? Kasian? Merasa bersalah?

“Sedikit… Jadi mereka rugi hari ini, ketika hujan, dan rugi esok harinya. Rugi 2 kali dengan untung yang ga seberapa. Terpenuhikah kebutuhan mereka ketika hari hujan? Masihkah mereka punya uang untuk kula’an lusanya? Bruntung klo mreka punya tabungan, tapi klo ga? Terpaksa ngutang kan, itu juga klo ada yang mau ngutangin….”. Bapak mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas panjang, lalu masuk ke dalam rumah.

Tinggallah aq di teras, sendirian memandang hujan. Menguap sudah keinginan untuk tidur. Ternyata ada cerita lain ketika hujan turun.

Sampai sekarang klo hujan turun aq slalu ingat crita itu. Tetap bersyukur dan bahagia menerima tiap curahan hujan karena yang harus di atasi adalah tempat dagangnya, bukan hujannya yang diberhentiin.

aq jadi berusaha tetap menjalankan niat meski hujan turun, karena bisa jadi aq lah penyambung rezeki sebagian orang saat hari hujan. aq blum sanggup membangun tempat yang layak utk pedagang tradisional jadi untuk Sementara cuma itu yang bisa aq lakukan .

Trakhir, Aq sangat bersyukur masih bisa dekat sama bapak dan memetik pelajaran darinya.

Dikereta ini Kami Berdiri

Aq menghela nafas panjang, menyiapkan mental untuk berdiri di kereta ekonomi jurusan Blitar-Surabaya. Ini hari sabtu dan stasiun Kotabaru-Malang ramai oleh calon penumpang. Berdiri di kereta masi lebih baik dari pada duduk di bis karna manusia katrok kaya aq ini g bgitu tahan naek kendaraan sebangsa mobil. Mabok, sodara. Buat aq, perlu kekuatan iman luar biasa buat naek bis. Heheh

Pengumuman dengan suara bapak-bapak yang g merdu terdengar dari speaker stasiun, ngasi tau akan ada kreta datang dari arah…. Apa y, selatan kali. Lupa. Pokoknya dari arah Blitar. Itu kereta q. sebagian besar penumpang segera beranjak mnuju garis batas rel. Walah, banyak banget manusianya. Pupus uda harapan dapat tempat duduk di tengah perjalanan nanti.

Yak, Bismillah… Stelah berjuang desek-desekan sama orang yang satu niat, akhirnya aq nyampe di atas kreta. Penumpang dari Malang lebih santun daripada penumpang dari Madiun, sejauh pengamatan aq sih. Mereka mau bersabar nunggu penumpang yang turun dari kreta dan mendahulukan anak-anak, ibu-ibu dan jompo.

Aq berdiri dengan nyaman. Lokasi tepatnya di deket pintu dan didepan toilet. Mantab tenan. Baunya jangan di tanya deh. Di sekitar situ ada beberapa orang yang juga berdiri. Masi cukup lapang. Setidaknya masi bisa merubah posisi berdiri klo mati gaya.

Salah satunya ada mbak manis. Dia menarik perhatian q. bukan karna dandanan anak mal-nya, tapi karena dia bawa koper yg cukup besar dan terlihat canggung. Aq bertanya-tanya dalam hati, apa ini pertama kalinya dia naek kreta ekonomi? Langka sekali ada orang yang mau repot bawa koper besar di kereta yang rawan desak-desakan.

Kami yang berdiri di kereta tak banyak bicara. Hanya saling tatap sembari menilai orang macam apa lawan tatapan kami. Biasanya, setelah beberapa detikt, sesimpul senyum menghentikan penilaian sekaligus memecahkan keheningan. Kami mulai berbasa-basi. Terkadang terjadi percakapan yang menarik. Setelahnya, kami kembali terdiam. Kembali menatap wajah-wajah senasib. Atau melihat keluar untuk pemandangan yang lebih dinamis.

Disetiap pemberhentian, penumpang yang turun selalu lebih sedikit dari penumpang yang naek. Tubuh-tubuh pun semakin mepet kedalam. Injak-menginjak kaki sering terjadi tanpa sengaja. Tapi yang sering jadi korban adalah jempol kaki. Heran, apa sih menariknya jempol kaki saya? Apa kelihatannya seperti: tidak-terpakai-lagi? Teriakan-teriakan “kasi jalan…! Kasi jalan..! ” membuat sebagian orang menggerutu. Emang jalan yang mana lagi? Dan semakin kencang menggoyangkan kipasnya.

Senggol-senggolan uda jadi hal yang biasa. Pelaku utamanya adalah pedagang asongan. One stop shoping klo aq bilang. Canggih, g kalah sama mal. Hampir semuanya ada. Kata-kata “Amit mbak, amit mas, pak, bu” selalu berdampingan dengan jargon promosinya. Berusaha mengabaikan tatapan sebal orang yang disenggolnya dan tak henti berharap ada rezeki mengalir.

Para pedagang itu meninggalkan bau keringatnya menguap di udara, bercampur dengan bau toilet. Yah dinikmati saja. Itu berarti indra penciuman q masi berfungsi dengan baik, Alhamdulillah…… Dan lagi, sebenarnya aq tengah mencium bau kehidupan. Bau kerja keras. Bau harapan. Bau kasih sayang. Karena entah berapa mulut yang akan di suapi dari hasil jualannya.

Sesampai di Bangil, jejalan manusia semakin menggila. Tangisan anak-anak terdengar nyaring diiringi bujukan putus asa ibunya. Ditambah lagi asap rokok tak henti mengepul disana-sini, menambah sumpek suasana. Menguji kesabaran dan toleransi.

salah satu potret Indonesia, kawan