Sabtu, 30 Mei 2009

Dikereta ini Kami Berdiri

Aq menghela nafas panjang, menyiapkan mental untuk berdiri di kereta ekonomi jurusan Blitar-Surabaya. Ini hari sabtu dan stasiun Kotabaru-Malang ramai oleh calon penumpang. Berdiri di kereta masi lebih baik dari pada duduk di bis karna manusia katrok kaya aq ini g bgitu tahan naek kendaraan sebangsa mobil. Mabok, sodara. Buat aq, perlu kekuatan iman luar biasa buat naek bis. Heheh

Pengumuman dengan suara bapak-bapak yang g merdu terdengar dari speaker stasiun, ngasi tau akan ada kreta datang dari arah…. Apa y, selatan kali. Lupa. Pokoknya dari arah Blitar. Itu kereta q. sebagian besar penumpang segera beranjak mnuju garis batas rel. Walah, banyak banget manusianya. Pupus uda harapan dapat tempat duduk di tengah perjalanan nanti.

Yak, Bismillah… Stelah berjuang desek-desekan sama orang yang satu niat, akhirnya aq nyampe di atas kreta. Penumpang dari Malang lebih santun daripada penumpang dari Madiun, sejauh pengamatan aq sih. Mereka mau bersabar nunggu penumpang yang turun dari kreta dan mendahulukan anak-anak, ibu-ibu dan jompo.

Aq berdiri dengan nyaman. Lokasi tepatnya di deket pintu dan didepan toilet. Mantab tenan. Baunya jangan di tanya deh. Di sekitar situ ada beberapa orang yang juga berdiri. Masi cukup lapang. Setidaknya masi bisa merubah posisi berdiri klo mati gaya.

Salah satunya ada mbak manis. Dia menarik perhatian q. bukan karna dandanan anak mal-nya, tapi karena dia bawa koper yg cukup besar dan terlihat canggung. Aq bertanya-tanya dalam hati, apa ini pertama kalinya dia naek kreta ekonomi? Langka sekali ada orang yang mau repot bawa koper besar di kereta yang rawan desak-desakan.

Kami yang berdiri di kereta tak banyak bicara. Hanya saling tatap sembari menilai orang macam apa lawan tatapan kami. Biasanya, setelah beberapa detikt, sesimpul senyum menghentikan penilaian sekaligus memecahkan keheningan. Kami mulai berbasa-basi. Terkadang terjadi percakapan yang menarik. Setelahnya, kami kembali terdiam. Kembali menatap wajah-wajah senasib. Atau melihat keluar untuk pemandangan yang lebih dinamis.

Disetiap pemberhentian, penumpang yang turun selalu lebih sedikit dari penumpang yang naek. Tubuh-tubuh pun semakin mepet kedalam. Injak-menginjak kaki sering terjadi tanpa sengaja. Tapi yang sering jadi korban adalah jempol kaki. Heran, apa sih menariknya jempol kaki saya? Apa kelihatannya seperti: tidak-terpakai-lagi? Teriakan-teriakan “kasi jalan…! Kasi jalan..! ” membuat sebagian orang menggerutu. Emang jalan yang mana lagi? Dan semakin kencang menggoyangkan kipasnya.

Senggol-senggolan uda jadi hal yang biasa. Pelaku utamanya adalah pedagang asongan. One stop shoping klo aq bilang. Canggih, g kalah sama mal. Hampir semuanya ada. Kata-kata “Amit mbak, amit mas, pak, bu” selalu berdampingan dengan jargon promosinya. Berusaha mengabaikan tatapan sebal orang yang disenggolnya dan tak henti berharap ada rezeki mengalir.

Para pedagang itu meninggalkan bau keringatnya menguap di udara, bercampur dengan bau toilet. Yah dinikmati saja. Itu berarti indra penciuman q masi berfungsi dengan baik, Alhamdulillah…… Dan lagi, sebenarnya aq tengah mencium bau kehidupan. Bau kerja keras. Bau harapan. Bau kasih sayang. Karena entah berapa mulut yang akan di suapi dari hasil jualannya.

Sesampai di Bangil, jejalan manusia semakin menggila. Tangisan anak-anak terdengar nyaring diiringi bujukan putus asa ibunya. Ditambah lagi asap rokok tak henti mengepul disana-sini, menambah sumpek suasana. Menguji kesabaran dan toleransi.

salah satu potret Indonesia, kawan

1 komentar:

  1. mel,,,
    cerita nya sebenarnya sederhana..
    sesuatu hal yang sering di alami orang,,

    tapi sumpah,, cara penyampaian cerita nya bagus kali!! kalo kakak baca, seakan2 kakak ada disana aja....

    ada beberapa penulis novel yang gaya penulisan nya kayak gini, yang kalo kakak baca mampu memberikan ilustrasi yang jelas,, deskriptif kali lah pokoknya...

    coba2 aja mel nulis2 novel, sapa tau ntar best seller!!

    BalasHapus