Sabtu, 30 Mei 2009

“Tolong pak, jangan bawa ban saya,,”

Sarapan q hari ini di temani berita pagi di salah satu stasiun televisi. Masi tema yang biasa: perampokan, pembunuhan, tabrakan, bencana alam, sesekali ada bayi yang dibuang dan yang cukup sering tentang penggusuran oleh satpol PP (PP? bukan Pulang-Pergi kan?)

Terlalu sering direcoki berita macam itu harus hati-hati. Bisa membuat terbiasa dan hati menjadi kebas. Jangan sampe ketika mendengar berita pembunuhan, kita dengan entengnya bilang,” oh ya? Emang sapa lagi yang dibunuh?”. Tanpa simpati dan belasungkawa. Sungguh suatu bencana.

Suapan q terhenti ketika mendengar suara yang menghiba “Tolong pak, jangan bawa ban saya,,,”. Suaranya bener-bener menghiba, dan terluka.

Sekarang 100% konsentrasi q ke TV. Suara itu berasal dari seorang bapak tua penambal ban. Kalimatnya berkali-kali di ulang, dan
Ya ALLAH……
Bapak itu mencoba menahan ban-bannya dengan seluruh berat badannya sementara 2 satpol pp mengangkat, ah menyeret lebih tepatnya, sang bapak sekaligusnya bannya tanpa perasaan. 2 satpol pp yang lain mencoba melepaskan si bapak dengan paksa.

Bliau menghiba, meratap, merintih ,” nanti saya nyari uangnya gimana pak? Nanti keluarga saya makan apa? “. Airmatanya sudah tak terbendung, bgitu juga air mata q. berkali-kali aq istighfar. Tak habis pikir kenapa satpol pp tak tersentuh hatinya melihat si bapak. Tak terbayangkah seandainya si bapak itu orang tuanya.

Si bapak tua masi berusaha mengambil bannya yang sudah ada di atas mobil satpol pp. namun perlawanannya melemah, tenaganya tersedot oleh kesedihan dan kemarahan. Bliau lalu berlutut putus asa, dan berita lainnya muncul.

Aq tak lagi tertarik memandang berita TV. Sarapan berhasil ludes hanya karna rasa wajib : g boleh menyia-nyiakan makanan. Hari ini, aq yakin akan banyak orang yang lebih mensyukuri hidupnya setelah melihat berita itu.

Jika Hari ini Turun Hujan

Pagi itu di Pekanbaru turun hujan, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari yang panas dan berkabut (berkat jasa hutan di Dumai yang terbakar). Aq dan bapak q memandang rintikan air itu dari teras rumah. Home sweet home. Hm, jadi kangen….

Tiba-tiba bapak tanya,”klo hujan gini siapa yang sedih, Lin?”.

Aq langsung mengkerutkan kening. Hujan biasa yang ditunggu-tunggu kaya gini, emang ada yang jadi sedih? Klo hujannya deras banget plus berpetir, atau hujan terus-menerus selama beberapa hari itu baru ada yang sedih. Ya kan bisa jadi banjir, tanah longsor, sulit pergi ke sekolah atau ngantor dll.

Belum dapat jawabannya, bapak uda nanya lagi ,” Klo hujan gini enaknya ngapain, Lin?”

“Tidur..!” aq menjawab sambil cengengesan. Heheh Sapa coba yang g pengen tidur hujan-hujan gini.

Tapi ekspresi bapak masi datar walau ada sesungging senyum di bibirnya.
“ Betul. Hujan-hujan gini enaknya emang tidur. Dan pasti banyak kan orang yang berpikiran kaya gitu?” kata bapak.

Aq mengangguk cepat-cepat. Ga sabar mnunggu klanjutan omongan bapak.

“Orang lebih memilih tidur dan jadi malas kemana-mana. Dan karna jaman uda canggih, orang tinggal telpon aja pesen makanan. Atau nahan laper sampe hujan reda lalu bli makanan jadi di deket rumah. Yang tadinya berencana masak dan blanja ke pasar, malah ga jadi. Atau jadi blanja tapi ga kepasar tradisional tapi ke supermarket. Trus sapa yang beli dagangan mereka di pasar? Dan lagi karena hujan, dagangan mereka jadi lebih cepat busuk. Mereka g tau caranya membuat sayur-sayur bertahan lebih lama. Jadi yang bisa mereka lakukan adalah menjual kembali dagangannya yang uda g bagus dengan harapan besar akan ada yang membeli. Menurut kamu berapa banyak orang yang akan membeli itu?” kata bapak panjang lebar.

“Sedikit,,,,,” jawab q lemah. Aq uda mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Aq jadi merasa, entahlah… Sedih? Kasian? Merasa bersalah?

“Sedikit… Jadi mereka rugi hari ini, ketika hujan, dan rugi esok harinya. Rugi 2 kali dengan untung yang ga seberapa. Terpenuhikah kebutuhan mereka ketika hari hujan? Masihkah mereka punya uang untuk kula’an lusanya? Bruntung klo mreka punya tabungan, tapi klo ga? Terpaksa ngutang kan, itu juga klo ada yang mau ngutangin….”. Bapak mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas panjang, lalu masuk ke dalam rumah.

Tinggallah aq di teras, sendirian memandang hujan. Menguap sudah keinginan untuk tidur. Ternyata ada cerita lain ketika hujan turun.

Sampai sekarang klo hujan turun aq slalu ingat crita itu. Tetap bersyukur dan bahagia menerima tiap curahan hujan karena yang harus di atasi adalah tempat dagangnya, bukan hujannya yang diberhentiin.

aq jadi berusaha tetap menjalankan niat meski hujan turun, karena bisa jadi aq lah penyambung rezeki sebagian orang saat hari hujan. aq blum sanggup membangun tempat yang layak utk pedagang tradisional jadi untuk Sementara cuma itu yang bisa aq lakukan .

Trakhir, Aq sangat bersyukur masih bisa dekat sama bapak dan memetik pelajaran darinya.

Dikereta ini Kami Berdiri

Aq menghela nafas panjang, menyiapkan mental untuk berdiri di kereta ekonomi jurusan Blitar-Surabaya. Ini hari sabtu dan stasiun Kotabaru-Malang ramai oleh calon penumpang. Berdiri di kereta masi lebih baik dari pada duduk di bis karna manusia katrok kaya aq ini g bgitu tahan naek kendaraan sebangsa mobil. Mabok, sodara. Buat aq, perlu kekuatan iman luar biasa buat naek bis. Heheh

Pengumuman dengan suara bapak-bapak yang g merdu terdengar dari speaker stasiun, ngasi tau akan ada kreta datang dari arah…. Apa y, selatan kali. Lupa. Pokoknya dari arah Blitar. Itu kereta q. sebagian besar penumpang segera beranjak mnuju garis batas rel. Walah, banyak banget manusianya. Pupus uda harapan dapat tempat duduk di tengah perjalanan nanti.

Yak, Bismillah… Stelah berjuang desek-desekan sama orang yang satu niat, akhirnya aq nyampe di atas kreta. Penumpang dari Malang lebih santun daripada penumpang dari Madiun, sejauh pengamatan aq sih. Mereka mau bersabar nunggu penumpang yang turun dari kreta dan mendahulukan anak-anak, ibu-ibu dan jompo.

Aq berdiri dengan nyaman. Lokasi tepatnya di deket pintu dan didepan toilet. Mantab tenan. Baunya jangan di tanya deh. Di sekitar situ ada beberapa orang yang juga berdiri. Masi cukup lapang. Setidaknya masi bisa merubah posisi berdiri klo mati gaya.

Salah satunya ada mbak manis. Dia menarik perhatian q. bukan karna dandanan anak mal-nya, tapi karena dia bawa koper yg cukup besar dan terlihat canggung. Aq bertanya-tanya dalam hati, apa ini pertama kalinya dia naek kreta ekonomi? Langka sekali ada orang yang mau repot bawa koper besar di kereta yang rawan desak-desakan.

Kami yang berdiri di kereta tak banyak bicara. Hanya saling tatap sembari menilai orang macam apa lawan tatapan kami. Biasanya, setelah beberapa detikt, sesimpul senyum menghentikan penilaian sekaligus memecahkan keheningan. Kami mulai berbasa-basi. Terkadang terjadi percakapan yang menarik. Setelahnya, kami kembali terdiam. Kembali menatap wajah-wajah senasib. Atau melihat keluar untuk pemandangan yang lebih dinamis.

Disetiap pemberhentian, penumpang yang turun selalu lebih sedikit dari penumpang yang naek. Tubuh-tubuh pun semakin mepet kedalam. Injak-menginjak kaki sering terjadi tanpa sengaja. Tapi yang sering jadi korban adalah jempol kaki. Heran, apa sih menariknya jempol kaki saya? Apa kelihatannya seperti: tidak-terpakai-lagi? Teriakan-teriakan “kasi jalan…! Kasi jalan..! ” membuat sebagian orang menggerutu. Emang jalan yang mana lagi? Dan semakin kencang menggoyangkan kipasnya.

Senggol-senggolan uda jadi hal yang biasa. Pelaku utamanya adalah pedagang asongan. One stop shoping klo aq bilang. Canggih, g kalah sama mal. Hampir semuanya ada. Kata-kata “Amit mbak, amit mas, pak, bu” selalu berdampingan dengan jargon promosinya. Berusaha mengabaikan tatapan sebal orang yang disenggolnya dan tak henti berharap ada rezeki mengalir.

Para pedagang itu meninggalkan bau keringatnya menguap di udara, bercampur dengan bau toilet. Yah dinikmati saja. Itu berarti indra penciuman q masi berfungsi dengan baik, Alhamdulillah…… Dan lagi, sebenarnya aq tengah mencium bau kehidupan. Bau kerja keras. Bau harapan. Bau kasih sayang. Karena entah berapa mulut yang akan di suapi dari hasil jualannya.

Sesampai di Bangil, jejalan manusia semakin menggila. Tangisan anak-anak terdengar nyaring diiringi bujukan putus asa ibunya. Ditambah lagi asap rokok tak henti mengepul disana-sini, menambah sumpek suasana. Menguji kesabaran dan toleransi.

salah satu potret Indonesia, kawan